Rabu, 08 Oktober 2008

Rekaman Video Tidak Sah di Persidangan Kasus Kerusuhan Monas Mei 2008

Anda sering melihat program acara dokumenter realita dari luar negeri seperti “The Most Amazing Videos” atau “Big Chase Police” yang sempat ditayangkan di TV swasta domestik. Sering menayangkan beberapa kasus pengejaran seru antara mobil tersangka dengan kendaraan aparat penegak hukum di negara – negara bagian Amerika Serikat. Tidak tanggung – tanggung. Namun ada sisi menarik dari tayangan realita ini. Disamping pengejaran tersangka juga ada rekaman nyata tentang beberapa individu masyarakat melakukan upaya rancangan pembunuhan dengan seseorang yang tidak ia sukai bahkan itu suami maupun istrinya sendiri.


Yang sangat beruntungnya bagi aparat tersebut mereka melakukan penyamaran sangat sempurna sehingga drama negosiasi pembunuhan berbayar berjalan hingga berakhir dengan penangkapan terhadap tersangka perancangan. Meskipun dalam penangkapan tersebut tersangka menyangkal semua tuduhan itu kepada penyidik tetapi dalam pengadilan kota bukti rekaman tersebut cukup menjadi alat yang bisa menjerat sang pelaku ke dalam penjara. Dua acungan jempol layak diberikan kepada anggota penegak hukum baik itu sheriff, kepolisian kota, detektif dan agen FBI karena semboyan institusi mereka sebagai penegak hukum dan keadilan benar – benar dilaksanakan dan masyarakat setempat pun berpihak pada mereka.


Rekaman gerak – gerik kejahatan pelaku bisa digunakan sebagai alat bukti sah di pengadilan termasuk dalam kasus tawuran massal dan kerusuhan. Kerusuhan di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Itali, Spanyol, dan Inggris baik yang dilatar belakangi masalah ekonomi hingga persepakbolaan cepat ditangkal dan diketahui dalangnya. Setiap anggota pasukan anti huru – hara disisipkan anggota yang khusus bertugas sebagai perekam kejadian atau masing – masing anggota di helm mereka diselipkan kamera CCTV. Sehingga pelaku kerusuhan sesungguhnya bisa diseret ke meja hijau.


Tetapi kepastian tentang penegakan hukum terhadap dua jenis kasus ini di Indonesia masih simpang siur dan belum ada yang terungkap siapa pelaku intelektualnya. Memang dalam beberapa kasus tawuran massal akhir – akhir ini pihak kepolisian RI sigap dalam menangkal dan mengungkap pelaku kerusuhan seperti tawuran antar pelajar, tawuran antar kampung, tawuran dalam kampus dan bentrokan antar organisasi kepemudaan.


Tetapi bentrokan massa pro dan kontra seperti yang terjadi pada Hari Kebangkitan Nasional di kawasan Monas Jakarta Pusat bulan Mei 2008 baru – baru ini menyidangkan beberapa anggota Front Pembela Islam yang memang melakukan tindakan anarkis terhadap anggota massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Yang patut disesalkan justru pernyataan dari pakar telematika Roy Suryo yang mengatakan bahwa rekaman video kerusuhan Monas antara massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dinyatakan tidak sah sebagai bukti untuk menuntut tindakan anarkisme yang dilakukan massa Front Pembela Islam. Ditambahkan pula bahwasanya rekaman – rekaman sejenis itu hanya bisa diakui dan digunakan sebagai sebagai alat bukti dalam kasus korupsi dan terorisme. Demikian pernyataan Roy Suryo yang ditirukan oleh Pengacara M. Assegaff (Metro TV Headlines News tanggal 22 September 2008). Roy Suryo pernah mengatakan rekaman mengenai kronologis insiden Monas (Kompas Cybermedia 03-06-2008) asli tapi tidak menyebutkan sah untuk dijadikan alat bukti persidangan.

Roy Suryo. Pendapatnya bisa digunakan apa tidak sih?

M. Assegaff. Anggota TPM hanya menjalankan prosedur hukum


Bahkan dalam persidangan tersebut dengan entengnya terdakwa Habib Riziq mementahkan segala bentuk bukti baik kesaksian korban maupun bukti visual rekaman mengenai kekerasan massa FPI di insiden Monas. Bila dalam persidangan selanjutnya perkara yang diajukan oleh massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan berakhir buntu, maka jelas ormas sejenis akan tumbuh lagi dan melakukan apa yang anggap mereka benar bagi ideologi meskipun anggota masyarakat sangat resah dan terganggu dengan prilaku mereka.


Sungguh ironis, kalau pengadilan memutuskan barang bukti rekaman kerusuhan tidak sah padahal ada ratusan orang menyaksikan kejadian insiden tersebut bahkan jutaan orang menyaksikan siaran tersebut. Dunia melihat sistem pengadilan di Indonesia dan sudah pasti jadi bahan tertawaan yang tiada habisnya. Bila ada yang berpendapat rekaman itu rekayasa maka terlihat dengan jelas derajat pendidikan dan wawasan atas hukum, keadilan dan tenggang rasa itu, rendah. Namun akan jelas berbeda jika orang itu ternyata menyatakan bahwa dia diintimidasi oleh pihak – pihak yang ingin memanfaatkan situasi tersebut. Karena FPI terkenal dengan intimidasi kata dan fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar